Selasa, 15 Juli 2008

PENGAKUAN WILAYAH KONFLIK RUANG

PENGAKUAN WILAYAH KONFLIK RUANG

ANTARA KEPENTINGAN RAKYAT DAN PELESTARIAN


PENDAHULUAN

Dalam pengelolaan wilayah kita mengenal area-area yang dilindungi (kawasan konservasi), wilayah-wilayah tersebut di perlakukan secara khusus agar seluruh komponen yang dapat dalam wilayah itu secara ideal dapat terjaga kelangsungannya, baik itu dunia hewan, tumbuhan maupun kondisi air dan tanah.

Ide perlindungan suatu wilayah secara ideal tentunya di harapkan agar seluruh aspek yang membentuk suatu lingkungan hidup secara efektif mampu melangsungkan keberadaaannya sebagai satu kesatuan yang terangkai secara mutlak. Salah satu aspek yang membentuk lingkungan hidup yang bermasalah atau rusak misalnya, maka keberadaan aspek yang lainnyapun mestinya terganggu. Ini artinya konsep perlindungan suatu wilayah dari ruang muka bumi adalah konsep menjaga keseluruhan komponen yang membentuk lingkungan tanpa terkecuali. Sekali lagi kita mengecualikan aspek tertentu, maka konsep perlindungan yang di maksud tentunya tidak ada argumennya untuk di jelaskan dan apalgi untuk pertahanan.


Beberapa kalimat di atas diungkapkan untuk memperjelas bahwa tidak mustahil konsep perlingdungan suatu kawasan tertentu dalam implementasinya hanya menyangkut pada aspek tertentu saja. Para pengelola kawasan perlindungan, katakanlah Taman Nasional misalnya, akan dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan “Monyet Hitam” di wilayah kerjanya hanya karena monyet hitam merupakan penghuni diwilayah tersebut dan tidak di temukan di tempat lain. Di sisi lain manusia sebagai salah satu komponen lingkungan hidup yang punya salah satu komponen lingkungan hidup yang punya kepentingan ayang sama akan ruang dengan monyet hitam tersebut, pengelola justru diabaikan. Intinya para pengelola wilayah perlindungan tidak segan-segan merepakan prinsip “Lindung Monyet Hitam” persetan dengan manusia yang ada di sekitarnya. Mereka lupa ada kepentingan yang sama akan ruang muka bumi antara monyet dan manusia. Maka tidak heran sering sekali terjadi konflik antara kepentingan pengelola wilayah dengan perlindungan dengan masyarakat di sekitarnya.

Kaitannya dengan permasalahan tersebut, perlu juga ada beberapa penjelasan tentang kepentingan-kepentingan manusia/masyarakat yang mendiami wilayah itu dengan suatu kawasan yang secara hukum dilindungi. Penjelasan ini diawali dengan mengungkapkan konflik-konflik yang dapat terjadi dalam pengelolaan kawasan perlindungan/kawasan konservasi.

KONFLIK RUANG

Manusia akan selalu memilik kepentingan dengan yang namanya RUANG. Yang membedakan kualitas kepentingannya barangkali hanya ada sebagian orang yang secara langsung berhubungan dengan ruang dalam memenuhi kebutuhannya. Orang yang masuk kelompok ini adalah orang yang mencari nafkah dalam bidang pertanian. Di sisi lain ada sebagian orang yang tidak secara langsung berkepentingan dengan ruang, walaupun ada kepentingannya relatif kecil.

Karena manusia mempunyai kepentingan dengan ruang, ketersediaan ruang harus dapat mengakomodasi berbagai kepentingan manusia , sekecil apapun kepentingannya. Apabila suatu ruang di atas bumi diperlakukan khusus misalnya secara hukum untuk wilayah perlindungan (Taman Nasional, Hutan Lindung, Cagar Alam dan lain sebaginya) tapi jutru menghambat kepentingan manusia terhadap ruang yang diperlukan khusus tersebut, maka tidak mustahil dan dapat dipastikan akan terjadi konflik yang diawali dengan konflik ruang. Satu ruang muka bumi yang sama diperlukan oleh berbagai pihak. Hal ini sebenarnya hanya karena seluruh komponen lingkungan hidup tidak terkecuali manusia bersama-sama dengan komponen (binatang dan tumbuhan) memiliki kepentingan yang sama akan ruang.

Kasus seperti pemanfaatan hasil hutan secara ilegal oleh masyarakat dan pemanfaatan kawasan hutan yang secara hukum dilindungi (perambahan hutan yang istilah yang disandang oleh masyarakat), merupakan contoh yang jelas bagaimana manusia/masyarakat sangat berkepentingan dengansuatu ruang dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena pihak pengelalo kawasan lindung juga punya kepentingan dengan ruang yang sama tadi (meskipun hanya untuk kepentingan “Orang Hutan Hitam” misalnya), tetapi kemudian yang terjadi adalah saling mementingkan kepentingannya. Masyarakat yang mencari makan ke hutan atau kebetulan kawasan yang dilindungi di cap sebagai musuh yang harus dilawan oleh masyarakat. Dalam kasusu ini yang nyata adalah konflik ruang (memperebutkan tempat yang sama untuk mencari makan).

KONFLIK EKONOMI

Masyarakat menempati suatu tempat atau ruang di muka bumi yang memungkinkan masyarakat untuk melangsungkan hidupnya. Artinya manusia sangat tergantung dengan sumber-sumber ekonomi yang ada disekitar kawasan yang ditempatinya. Sumber-sumber ekonomi yang berkaitan dengan ruang dapat dipilih menjadi sumber-sumber ekonomi yang memerlukan tempat misalnya kawasan perkebunan masyarakat dan sumber-sumber yang tidak memerlukan ruang tempat yang luas semisal (usaha-usaha non tani).

Sejalan dengan itu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan ruang sangat ditentukan oleh jenis aktivitas dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi. Misalnya, bidang usaha tani pertanian minimal dalam satu keluarga memerlukan 1 Ha lahan sawah untuk ukuran hidup sederhana untuk dipedesaaan dan bandingkan dengan usaha non tani bila 1 keluarga di kota memiliki tanah seluas 1 Ha untuk usaha rumah kontrakan di daerah perkotaan maka keluarga tersebut sudah tergolong menjadi keluarga yang mewah. Ini artinya, kegiatan memperoleh sumber-sumber ekonomi sangat berkaitan dengan ruang yang dimiliki dalam kontek ekonomi masyarakat di Indonesia untuk saat ini, hal tersebut di atas akan menghadapi masalah yang serius jika ketersediaan ruang terbatas dan apalagi dengan sengaja di paksa untuk di batasi.

Adapun usaha zonasi kawasan perlindungan (kawasan konservasi) ideal adalah usaha mengakomodasi berbagai kebutuhan akan ruang dari keseluruhan akan komponen lingkungan hidup. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan usaha konsevasi lebih difokuskan pada perlindungan beberapa komponen saja, misalnya flora & fauna tentu saja karena sifatnya yang unik (bukan karena fungsi alamiah lingkungan). Sementara masyarakat dalam kontek masyarakat adat yang berbeda di sekitar kawasan konservasi yang dianggap tidak unik bukan menjadi fokus pengelolaan. Hal ini tidak menjadi masalah bila masyarakat di sekitar kawasan konservasi memang tidak berkepentingan langsung terhadap ruang (katakanlah kalau masyarakatnya adalah pengusaha semua). Akan tetapi dapat dihitung permasalahan yang timbul misalnya, jika masyarakat di sekitar kawasan untuk memenuhi tingkat hidup sederhana saja harus memanfaatkan tanah pertanian 1 Ha per keluarga, sedangkan tanah yang tersedia terbatas. Pada gilirannya terjadi konflik ekonomi di mana masyarakat dengan luas kepemilikan tanah yang sempit akan tidak berdaya memenuhi kebutuhannya. Apalagi ditambah akses pasar yang sulit terhadap hasil pertaniannya. Ini konsekuensi yang harus juga ditanggung oleh para pengelolaan kawasan konservasi.

KONFLIK HUKUM

Zona kawasan konservasi yang diharapkan efektif tentu harus didukung oleh tersedianya perangkat hukum yang memadai. Pembangunan perangkat hukum harus diusahakan mampu mengakomodasi semua kepentingan. Perangkat hukum yang belum mengakomodasi berbagai kepentingan hanya asti akan menambah permasalahan pengelolaan suatu kawasan konservasi. Perangkat hukum yang mengatur berkait dengan keruangan di Indonesia, untuk sekarang setidaknya kita kenal ada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA 1960), UU Pengelolaan Hutan, UU Lingkungan Hidup, UU Pertambangan, UU Tata Ruang, dll, serta sejumlah perangkat perundang-undangan turunannya.

Kaitannya dengan pengelolaan kawasan konservasi dapat dijelaskan bahwa pada hakekatnya kawasan konservasi merupakan hasil dari ide pengelolaan ruang berupa zonasi dengan pertimbangan dan tujuan tertentu yang dinyatakan dengan kesepakatan perundangan. Artinya proyek berupa ruang muka bumi tertentu dilindungi untuk tujuan tertentu yang diperkuat dengan hukum yang mengaturnya. Akhirnya kawasan konservasi memiliki batas hukum secara keruangan. Persoalannya adalah kawasan konservasi akan berhadapan dengan berbagai perangkat hukum disekitarnya. Objeknya sama-sama ruang muka bumi (kawasan konservasi) tapi sumber perangkat hukumnya tidak tunggal. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana peran UUPA menyikapi kawasan konservasi? (ini menyangkut dua aspek pengusaan & pengusaan tanah), bagaimana UU Tata Ruang mengaturnya? Karena kawasan konservasi juga bagian dari wilayah kerja suatu daerah administrasi. Belum lagi bila ada kawasan konservasi ada usuha pertambangan rakyat atau negara (tentunya harus mengikuti UU Pertambangan) dan pada bagian mana UU Lingkungan Hidup dapat peran?

Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan fakta kondisi hukum yang berhubung dengan pengelolaan kawasan konservasi. Yang paling jelas barangkali adalah konflik tentang tata batas antara kawasan konservasi dengan masyarakat adat disekitarnya. Kawasan konservasi ditentukan secara hukum jauh setelah masyarakat punya kekuatan hukum (hukum adat misalnya). Sedangkan hukum adat masih dapat digunakan berdasarkan ketentuan UUPA. Di sisi lain masyarakat bukan merupakan bagian dari ide pengelolaan kawasan konservasi meskipun secara keruangan wilayahnya termasuk kawasan konservasi. Kesimpulannya dapat terjadi konflik hukum antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan kawasan konservasi.

Untuk itu diperlukan beberapa upaya dari stakeholder sebagai upaya meredam konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), dan dapat memperkecil kualitas konflik-konflik sebagaimana tersebut diatas.

Disampaikan pada seminar Akar Foundation, Pokja PSDA, Education For Nature Programma



0 komentar:

 
This blog powered by Blogger. Template designed by Go Blog Template