Padang Bano! Antara Komoditi Politik dan Keinginan Masyarakat?
Oleh: Team JEJAK AKAR
Oleh: Team JEJAK AKAR
Akarnews. Apa yang terjadi dengan suatu permasalahan yang dibungkus dengan kepentingan masyarakat namun isinya adalah demi memenuhi kepentingan seseorang atau suatu kelompok semata? Demikian kiranya dengan konflik tapal batas antara Kabupaten Lebong dengan Kabupaten Bengkulu Utara.
Konflik ini bermula disahkannya UU Nomor 39 tahun 2003, yang menjadi dasar hukum pembentukan Kabupaten Lebong dan Kepahyang yang merupakan pemekaran dari kabupaten induk yakni Kabupaten Rejang Lebong, yang pasca pemberlakuaanya mencuatkan Konflik Tapal Batas.
Menurut Mashuri yang ditemui team Akarnews, tempo hari di kediamannya di Desa Muara Ketayu, mengatakan bahwa konflik tapal batas adalah semata-mata konflik elitis yang membawa masyarakat terlibat didalamnya tanpa memiliki arahan yang jelas. Kemudian beliau menambahkan, ‘bukti hal tersebut adalah adanya DPT ganda di setiap proses pemilihan Umum, baik itu PILKADAL, PILPRES maupun PILLEG, hal ini ditambah lagi dengan adanya kandungan bahan mineral seperti batu-bara di beberapa desa yang termasuk ke dalam wilayah konflik, tentu hal ini akan menguntungkan elit-elit daerah, baik itu elit pemerintah Kabupaten BU maupun elit daerah Kabupaten Lebong’.
Tanggapan lain yang hampir senada adalah dari seorang warga masyarakat Padang Bano, yang bernama Pak Budi, menurut beliau bahwa kami masyarakat tidak penting daerah ini masuk Kabupaten Lebong atau Bengkulu utara, toch saja kondisi kami tetap seperti ini saja, kemudian ketika Akarnews menanyakan adanya kelompok masyarakat yang berdemo mengata-namakan dari perwakilan masyarakat Padang Bano, Pak Budi mengatakan tidak tahu menahu mengenai adanya forum yang mengatas-namakan masyarakat Padang Bano tersebut.
Sedangkan menurut saudara Erwin S Basrin dari Yayasan Akar, yang dahulu pernah terlibat secara lansung dalam proses penanganan konflik tata batas Padang Bano menuturkan bahwa, konflik ini sebenarnya tidak bisa dilihat begitu saja semenjak daerah Lebong dimekarkan menjadi Kabupaten, ada tinjauan sejarah yang harus dilihat yang nantinya akan memperjelas semua permasalahan, misalnya kejadian yang terjadi di zaman Penjajahan Belanda yang mememecahkan masyarakat adat Rejang kedalam system marga-marga. namun jika hal ini dilihat pada proses kejadian hari ini maka ada beberapa hal penyebab sengketa tata batas tersebut masih terjadi yakni, Pertama konflik yang ada merupakan imbas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan baik berupa produk Perundang-Undangan yang dikeluarkan seperti UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah,UU nomor 4 tahun 1967 diganti dengan UU No 41 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Kedua dalam penetapan pembagian keruangan kawasan tidak pernah melibatkan masyarakat di daerah tersebut (masyarakat local/masyarakat adat), hal ini bisa dilihat dari acuan peta dan tata ruang wilayah Provinsi Bengkulu yang telah direvisi, dan sekarang masih dalam tahap perumusan kembali, bahwa acuan yang dipakai adalah acuan batas TGHK padu serasi kawasan oleh Menteri Kehutanan melalui Kepmen;Nomor.420/kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di wilayah Provinsi Bengkulu seluas 920.964 ha.
Ketiga proses penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah, lebih merupakan proses suatu solusi yang berorientasi pada kepentingan pengelolalaan wilayah konflik, bukan demi kesejahteraan rakyat, hal ini berimbas pada semakin meruncingnya konflik pada tingkatan masyarakat diwilayah konflik. Hal yang dikembangkan pemerintah juga lebih mengarahkan pada suatu pengakuan administrative, tidak pada tingkatan pembuktian kebenaran yang akan mengangkat derajat masyarakat adat suku Rejang, khususnya masyarakat Selupu Lebong, Ke empat, organisasi-organisasi masyarakat yang ada di wilayah konflik, juga lebih merupakan representasi dari kedua kabupaten yang berkonflik, hal ini telah menimbulkan suasana yang tidak kondusif bagi masyarakat, dimana sudah muncul saling kecurigaan antara masyarakat yang pro pada Kabupaten Bengkulu utara dan masayrakat yang pro pada Kabupaten Lebong.
Ke lima, pemahaman organisasi-organisasi yang ada di masyarakat di wilayah konflik juga merupakan suatu pemahaman yang bias kepentingan sehingga permasalahan yang menjadi munculnya konflik yaitu pengakuan akan wilayah kelola masyarakat itu semakin terabaikan. Pemerintah yang seharusnya dapat memfasilitasi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dalam prosesnya ternyata telah terjebak pada status pengakuan administrative akan wilayah Padang Bano.
Kemudian ketika ditanyakan mengenai permasalahan DPT ganda dan gugatan salah satu Calon Bupati pasca pilkada 3 juli 2010 kemaren, Erwin cuma menjawab bahwa hal itu adalah sekedar dampak dari proses penanganan konflik yang setengah hati dan hanya berdasarkan pada status penguasaan wilayah secara administrative semata, sehingga masyarakat Padang Bano Cuma dijadikan komoditi politik disetiap prosesi peralihan kekuasaan di daerah.
Berdasarkan temuan Akarnews di lapangan, melihat pada proses pemilihan legislative dan presiden silam menemukan kejadian bahwa masyarakat Padang Bano memilih di dua TPS, satu TPS Kabupaten Bengkulu Utara satu lagi di TPS untuk Kabupaten Lebong, maka melihat situasi dari kekisruhan konflik tata batas ini, memang harus cepat diselesaikan agar jangan sampai terjadi double bourden, pada masyarakat Padang Bano, yakni terjadinya pemberlakuan dualisme hukum dan kebijakan antara Kabupaten Bengkulu Utara dengan Kabupaten Lebong, termasuk dalam hal klaim DPT yang pasca PILKADA silam kembali mengalami kericuhan.
Sebagai catatan disini adalah, masyarakat Padang Bano sampai pada hari ini belum memiliki NIK dan system registrasi kependudukan yang sah, dalam artian posisi kependudukan secara hukum pada masyarakat padang bano masih berada pada status yang dipertanyakan, akibat dari ketidak jelasan keputusan yang menjelaskan posisi wilayah Administrative Wilayah Padang Bano berada di kabupaten mana, apakah kabupaten Bengkulu utara atau Kabupaten Lebong. (TARR)
0 komentar:
Posting Komentar